Berawal dari kegilaan saya membaca cerpen yang bertebaran di koran minggu, saya pun ikut tertarik untuk menulis cerpen dewasa. Rasanya tiap kali baca cerpen yang engga ketebak endingnya, saya jadi berandai-andai, kok bisa ya nulis kaya begitu? hehehe..
Dan ceritanya setelah belasan nulis cerpen dan kirim ke koran serta media online, akhirnya ada satu juga cerpen yang dimuat media, tepatnya media online Apajake. Dan berikut detil cerpen yang dimuat tgl 22 Nov 2017 lalu.
Dan ceritanya setelah belasan nulis cerpen dan kirim ke koran serta media online, akhirnya ada satu juga cerpen yang dimuat media, tepatnya media online Apajake. Dan berikut detil cerpen yang dimuat tgl 22 Nov 2017 lalu.
keajaibanalam.com |
Kembang Durian
Eva Sholihah
Entah sudah berapa lama Aisah berdiri diam di bawah pohon itu
padahal hari masih gelap. Dari kejauhan sayup-sayup suara azan
Subuh belum lama berkumandang. Selesai Subuh dua rakaat tadi, Aisah lekas
melipat telekungnya dan diam-diam pergi ke kebun. Juga tak dirasa-rasanya
embusan angin pagi yang bertiup dari arah perbukitan dan seakan menusuk ke
tulang. Dalam suasana redup, mata Aisah dapat menangkap jelas pucuk-pucuk
kembang yang berguguran di tanah. Wajahnya semringah menatap banyak kembang
tergeletak begitu saja di tanah kecoklatan.
Sebentar-sebentar matanya menengadah menatap langit. Beberapa lama
berdiri di sana, ia mulai menangkap semburat kuning kemerahan dari ufuk timur.
Sebelum pagi beranjak terang, dirinya memutuskan untuk mulai memunguti kembang berputik
putih itu dan menyimpannya ke wadah plastik yang dibawanya. Kembang-kembang
durian yang ia dapat masih segar karena belum terkena sinar matahari sedikit
pun. Kesiangan sedikit saja, Aisah hanya akan mendapatkan kembang durian yang
layu dan berlendir.
Sesekali, ia menyeka bibirnya dengan bagian tangan yang kosong.
Entah kenapa mulutnya seakan-akan penuh dengan liur yang meleleh. Aisah tidak
ingat kapan terakhir lidahnya mencecap lezatnya sepiring tumisan kembang durian.
Mungkin setahun lalu. Atau dua tahun. Seingatnya terakhir ia ke sini, pohon
raksasa itu memang sedang tak berbunga.
"Rupanya kau di sini, Aisah?" sapaan akrab yang dikenalnya
membuat Aisah menoleh ke belakang.
Makcik Mila muncul dengan masih mengenakan bawahan sarung dan baju
kurung yang dikenakannya semalam. Aisah berusaha tersenyum dan bersikap sewajar
mungkin seakan semuanya baik-baik saja.
"Kau ingin aku menumis kembang-kembang itu untukmu,
Aisah?" tawarnya sambil ikut berjongkok di sisi Aisah. Jemarinya yang
gempal bulat ikut memunguti kembang-kembang yang diincar Aisah.
"Boleh, Makcik. Dah lama Aisah tak makan tumisannya. Di Jakarta
amat sulit menemukan kembang ini."
Sekejap kemudian, Aisah gegas berdiri menyadari wadah plastik di
tangannya telah penuh sambil mengamati kebun durian makciknya yang tak berubah.
Di kebun yang tak seberapa luas itu, Makcik Mila turut menggantungkan hidupnya
di masa tua.
"Sudah cukup, Aisah. Kita pulang sekarang." ajak Makcik
Mila.
Namun bukannya langsung pulang, Makcik Mila sengaja mengajak Aisah
memutar jalan melewati kebun-kebun durian yang banyak terlihat dari badan
jalan, barisan pohon duku dengan daging buah yang hampir masak serta
rumah-rumah panggung kayu para penduduk. Mereka berhenti di sebuah warung pinggir
jalan untuk sarapan nasi lemak sambil menikmati panorama sungai Batanghari di
kala pagi.
Selesai dengan urusan perut mereka bergegas pulang dan tiba di rumah
saat matahari naik sepenggalah.
"Wajahmu pucat, Aisah. Istirahat bae lah sana. Biar Makcik yang
masak kembang-kembang ini untukmu." ujar Makcik Mila dengan kedua tangan
sibuk menyiapkan bumbu-bumbu. Makcik Mila berbaik hati memasak untuk Aisah
meski di Jambi, tidak lazim orang menyantap tumis kembang durian. Perempuan
paruh baya itu tahu Aisah amat menyukai tumis kembang durian sejak mengikuti
suami pindah ke Jakarta, dan mendapat tetangga yang juga gemar menyantapnya.
Sayang hanya sesekali karena sulitnya menemukan pohon durian di sana.
“Aisah, kau dengar Makcik, tak?”
Aisah menoleh, menatap Makcik yang dihormatinya sambil terus
menguliti beberapa butir bawang merah.
"Aku tak apa-apa, Makcik. Hanya pusing sikit." gumam Aisah
pelan.
Tak lama, wangi sedap kembang durian yang selesai ditumis memenuhi
dapur. Tapi anehnya wangi itu malah menusuk penciuman Aisah.
"Hoekk.. hoek...uhuukk," sambil terbatuk-batuk ia berlari
ke kamar mandi. Dan tiba-tiba saja keinginan Aisah mencicip sepiring tumis kembang
durian lenyap. Di belakangnya, Makcik Mila geleng-geleng kepala.
***
Semua bermula pada Sabtu lalu, setelah keluar dari rumahnya untuk
bekerja, tiba-tiba saja Aisah urung berangkat
dan meminta pengendara ojek online
yang ditumpanginya memutar kembali laju motornya menuju rumah. Tubuhnya
mendesir dingin dan kepalanya seperti limbung. Perasaan asing kerap menyergapnya
akhir-akhir ini.
Namun setibanya di rumah, tidak ada siapa-siapa. Rumah kosong. Pintu
depan terkunci tapi pagarnya tidak. Suaminya entah kemana. Mobil milik suaminya
juga tiada. Ia memutuskan masuk dengan kunci duplikat yang ia simpan di tas
tangannya sambil bertanya-tanya kemana suaminya pergi.
Ia sedang terbaring di ranjang saat terdengar suara-suara dari luar
rumah. Suara mesin mobil suaminya muncul namun tak berhenti di muka rumah
seperti biasanya. Ia buru-buru bangkit, mengintip dari jendela. Mobil itu
parkir tiga rumah dari seberang rumahnya. Di depan rumah salah satu tetangga, janda
cantik beranak satu yang belum lama dicerai mati. Kaca mobil yang gelap
membuatnya tak bisa melihat apapun. Matanya nanar saat wanita berambut panjang
itu, tergesa-gesa turun berlari ke dalam rumah dan kembali sambil menjinjing
sebuah tas bayi.
Mobil melaju pergi. Ia menatap mobil itu dengan hati kalut dan
jemari tangannya tak henti mengelus air yang tiba-tiba meluap-luap di dadanya.
Juga di matanya.
Entah kemana mereka pergi, ia
juga tak mau tahu. Tanpa berpikir lagi, Aisah membuka lemari, mengeluarkan
beberapa setel pakaian lalu memasukkannya ke tas ransel berukuran sedang. Tak
lupa ponsel dan dompet ia selipkan disela-sela lembar pakaian.
***
Sudah tiga hari ini Aisah menginap di rumah Makcik Mila, di Muaro
Jambi. Saat pagi datang atau sebelum petang menjelang, ia kerapkali berjalan
menuju kebun durian Makcik Mila yang terletak di area yang tak jauh dari
kompleks candi berada.
Di sana, Aisah akan bersandar di batang durian yang sedang berbunga
sambil memejam mata. Di saat-saat begitu, ia segera terhanyut pada
kenangan-kenangan lama bersama Bang Bujang. Mereka jarang bertengkar. Bahkan
selama enam tahun pernikahannya, tak pernah ada cekcok luar biasa antara ia dan
suaminya meski ia tak kunjung hamil.
“Anak itu rejeki. Kalau belum dapat, ya mau gimana lagi?”
Aisah menghela napas teringat seloroh suaminya. Ia memutuskan berkeliling
sambil berjalan pulang. Di tengah jalan, Aisah bertemu dua orang perempuan
paruh baya mengenakan semacam kain penutup kepala. Di punggung keduanya
memanggul keranjang anyam besar berisi ranting-ranting kayu. Mereka mengangguk
ramah sejenak pada Aisah yang kala itu melintas. Rupanya keduanya tengah
mencari potongan-potongan kayu yang banyak berjatuhan di sekitar kompleks
candi. Di sini, beberapa orang masih
lazim memasak dengan tungku.
Hari hampir Magrib saat Aisah tiba di muka rumah Makcik Mila.
Makciknya hanya tinggal seorang diri di rumah yang lapang itu. Itu pula yang membuat
Aisah memilih menepi sejenak dari riuh Jakarta dan terbang ke rumah ini. Di
sini, tak akan ada yang merasa terganggu dengan kedatangan Aisah. Kedua anak
Makcik Mila, Jamil dan Umi telah menikah dan hidup berkeluarga di rumah yang
berjarak ratusan kilo dari sini. Rumah Makcik Mila senyap seperti kuburan. Hanya
sesekali saja rumahnya ramai di hari raya. Bisa jadi karena kesenyapan itu
pula, Makcik Mila memilih beternak burung murai di sepetak tanah samping
rumahnya. Di sana, ia membuat beberapa kandang besar dengan tinggi melebihi
tubuh Aisah saat berdiri. Beberapa kandang kecil dan kotak persegi yang dibuat
menyamai inkubator ditata tak jauh dari kandang-kandang besar itu.
Ada sepuluh pasang murai kepunyaan Makcik Mila. Karena burung-burung
itu juga, sepanjang hari rumah Makcik Mila tak lengang lagi. Makcik Mila pun
tak sempat meratapi kesepiannya karena saban hari sibuk mengawasi Jay dan
Imron, dua bocah tanggung anak tetangga sebelah yang ia bayar untuk mengurus
peternakan murai miliknya.
"Makcik, mungkin besok Aisah pamit." ucap Aisah seusai
berdoa lepas salat Magrib.
Makcik Mila yang masih duduk bersimpuh, menoleh ke arahnya dan
berkata sambil tersenyum, “Bagus lah, kau mengerti. Kabari Makcik jika dah tiba
di Jakarta, yo.”
Esoknya dengan pesawat pertama, Aisah terbang menuju Jakarta. Hari
masih pagi saat Aisah tiba di rumah. Pintu rumah terbuka sedikit. Dengan
hati-hati ia melangkah masuk dan mendapati Bang Bujang yang tertidur lunglai di
kursi tamu. Perlahan Aisah duduk di sebelah laki-laki itu. Ia tidak berkata
apapun melihat wajah suaminya yang tampak lelah dengan samar hitam melingkar di
sekitar mata. Ia malah ikut bersandar di kepala kursi dan mengingat lagi pesan
yang dikirim suaminya semalam.
"Sungguh Dik, Abang tak ada hubungan dengan janda itu. Kalau
tidak percaya, tanya Ibu Diah yang juga ikut mengantar Bu Nia ke rumah
sakit." kira-kira begitu isi pesan dari suaminya semalam.
Aisah merasa matanya memanas dan tenggorokannya sakit. Ia berdeham
kecil, lalu menoleh, dan mendapati kepala suaminya bergerak-gerak. Dehaman
kecilnya tadi telah membuat tidur laki-laki itu terganggu. Aisah lekas memejam
mata dengan perasaan campur aduk. Ia menelan ludah mendengar suara suaminya
yang dalam dan berat,
"Alhamdulillah, kau
sudah pulang, Dik."
Aisah bergeming meresapi tangan kekar suaminya hangat menggenggam
jemarinya. Perlahan ia membuka mata dan mendapati wajah suaminya yang tampak
lebih tua beberapa tahun. Saat itu, rasanya Aisah ingin mengucap sesuatu namun
entah kenapa tiba-tiba Aisah dilanda mual melihat wajah suaminya yang diam-diam
ia rindu.
Hoekk.. hoekk.. malah suara itu yang keluar dari mulutnya.
Saat berlari terbungkuk-bungkuk menuju kamar mandi, Aisah sadar
betul mual yang menyerangnya sama dengan mual yang ia rasa saat hendak menyantap
tumisan kembang durian kesukaannya. Atau buah durian. Atau wangi nasi hangat yg
mengepul.
Hooekk.. hoekk.. Aisah berusaha menutup mulutnya sambil berpikir
keras.
Hoekk.. hoekk... semua isi perutnya seakan keluar tak berhenti.
Kerennnn vaaa cerpennya😍😍
BalasHapus