Marsinah Dhede atau yang akrab dipanggil Dhede, seorang aktivis wanita dan difabel sekaligus OYPMK pernah mengalami masa kecil dengan diskriminasi.
Berawal saat di usia sekolah tingkat dasar, ia merasakan gejala berupa ruam merah dan putih pada kulit, dan timbulnya mati rasa di bagian yang terkena. Dokter mendiagnosa ia terkena penyakit Kusta.
Sejak itu pula, Marsinah kecil harus menjalani rangkaian pengobatan atau RTF ( Release From Treatment) selama 2 tahun. Ia pun rutin disuntik setiap hari Jumat dan sabar menjalani rutinitas bolak-balik ke puskesmas di desa yang jaraknya cukup jauh dari rumah dengan berjalan kaki. Tapi itu semua telah berlalu dan kini Marsinah benar-benar telah sembuh dari Kusta.
"Di rumah, keluarga sangat merangkul dan mendukung proses kesembuhan saya tapi saat saya melangkah keluar rumah dan bertemu orang-orang, stigma yang berlaku di masyarakat langsung menyapa. Teman-teman sebaya menolak bermain dengan saya, para tetangga seperti menjauh bahkan guru di kelas saya belajar pun menyuruh saya untuk pulang dan belajar di rumah saja. Untungnya masih ada guru lain yang mengerti tentang Kusta bisa merangkul dan tidak menjauhi saya kala itu."
Perlakuan di atas tentunya disebabkan minimnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit ini menyebabkan informasi yang salah terhadap kusta di masyarakat dan menganggap bahwa kusta adalah penyakit kutukan, penyakit yang sangat mudah menular, penyakit yang tidak bisa sembuh adalah salah dan tidak terbukti. Karena ini pula ejekan dan pengucilan harus dialami oleh OYPMK. Ditambah dengan lingkaran diskriminasi yang kerap menyapa mereka membuat mereka jadi menarik dari pergaulan.
Padahal Kusta bukanlah penyakit yang sangat mudah menular juga penting untuk diketahui. Pada kenyataannya, penyakit ini tidak akan menular jika hanya duduk bersama ataupun bersalaman dengan penderita.
Perjuangan Melawan Stigma
Namun sebagai OYPMK, Dhede tidak akan lupa pengalaman merasakan gigihnya menjalani rangkaian pengobatan untuk bisa sembuh sambil mengalami beban psikologi dikarenakan stigma di masyarakat.
“Dukungan penuh dari orang tua dan keluarga membuat saya merasa masalah yang ada saat itu menjadi jauh lebih ringan dan saya yakin bisa sembuh," ungkapnya sambil mengenang masa lalu.
Lain halnya dengan pengalaman Dr Mimi Mariani Lusli sebagai Direktur Mimi Institute. Saat tahu dirinya mengalami kebutaan karena kusta, perempuan yang akrab disapa Dr Mimi ini langsung shock dan merasa dunianya seakan runtuh. Stigma yang timbul dari dalam diri sendiri membuatnya merasa tidak punya masa depan. Ditambah pula adanya stigma dari masyarakat yang menambah berat beban psikologi yang dialami Dr Mimi kala itu.
Padahal jika sosialisasi tentang Kusta gencar diberikan kepada masyarakat, stigma negatif dan diskriminasi terhadap OYPMK tidak akan terjadi.
Bersama-sama hadir di Ruang Publik KBR yang disiarkan secara live di channel YouTube BERITA KBR, bertema "Makna Kemerdekaan Bagi OYPMK, Seperti Apa?", Marsinah Dhede dan Dr Mimi membagikan kisah perjuangan mereka sebagai OYPMK yang harus melawan stigma negatif tentang Kusta di masyarakat.
Berangkat dari hal ini pula, lahirlah Mimi Institute di tahun 2009 dengan visi Mainstreaming Disability For Better Life yaitu suatu keinginan membiasakan masyarakat berinteraksi dengan para penyandang disabilitas dengan ragam interaksi yang berbeda satu sama lain sehingga masyarakat bisa memiliki akses untuk berinteraksi secara baik dengan mereka.
Di Mimi Institute, penyandang disabilitas dan OYPMK bisa mendapatkan konsultasi, edukasi untuk anak dan remaja berkebutuhan khusus seperti tunanetra, sensorik, autism, dan lain sebagainya. Selain itu, Mimi Institute juga aktif mengadakan seminar-seminar, menerbitkan buku dan modul untuk berbagi informasi kepada masyarakat tentang disabilitas dan OYPMK serta bagaimana cara berinteraksi terhadap mereka.
Menurut Dr Mimi pula, Undang-undang terkait pemenuhan perlindungan hak disabilitas memang sudah ada tapi dalam implementasi dan monitoringnya masih belum optimal dan perlu dibenahi untuk ke depannya. Afirmatif action dari pemerintah agar disabilitas dan OYPMK mendapat peluang pekerjaan juga sangat penting agar mereka tetap memiliki masa depan dan tetap bisa terjun di masyarakat.
Kemerdekaan Berkarya Bagi Disabilitas dan OYPMK
Adanya komunitas Permata dan NLR Indonesia juga turut memberi para disabilitas dan OYPMK mendapat akses pendidikan serta mendapatkan hak mereka bekerja di BUMN dan badan swasta yang memang persentasenya sudah ditentukan oleh pemerintah.
Jadi mulai sekarang, stop diskriminasi dan stigma kepada teman-teman disabilitas dan OYPMK di masyarakat.
Karena sebenarnya tidak ada orang yang ingin hidupnya terperangkap dalam stigma. Dan sejatinya hak hidup dan kesetaraan adalah milik setiap orang. Bukan hanya milik orang yang sehat raganya namun juga berlaku untuk teman-teman disabilitas termasuk OYPMK.
Karena kemerdekaan adalah milik bersama.
Komentar
Posting Komentar